SEGERA TERBIT: SERIBU KEMBANG UNTUKMU KARYA IBNU PS MEGANANDA
Segera diterbitkan, Antologi Puisi "Seribu Kembang Untukmu"
Karya Ibnu Ps Megananda Megananda:
Editor:Chavchay Syaifullah
Desain Sampul dan Tata Letak::
Fajar Timur
PenerbitBunga Rumput Cilegon Publishing
Cetakan Pertama ............ 2014
Halaman: 125
Ukuran: 14,5 x 21 cm
ISBN: .........
IBNU SI PENCURI KEARIFAN
Oleh: Wowok Hesti Prabowo
Membaca puisi-puisi Ibnu PS Megananda dalam kumpulan puisinya yang bertajuk Seribu Kembang Untukmu ini mengingatkanku pada puisi-puisi buruh di Tangerang dan Kudus era 90-an. Puisi-puisi yang penuh perjuangan, kepedulian, dan terkadang kemarahan : pisahkan jiwa dengan mesin (Tangerang, hal 75).
Pada puisi-puisinya, Ibnu PS Megananda bahkan berbicara lebih luas dari sekedar nasib buruh. Ibnu nampak konsisten dengan keberpihakannya kepada kaum wong cilik. Ibu warung, teruslah berjualan nasi urap/dan ikan asin/ karena di warungmu uang kami terjangkau/ teruslah berjualan makanan sederhana/ di tempat sederhana (Warung Kecil, hal 45).
Penyair yang saya kenal sejak HP3N di Batu, Malang, Jawa Timur ini juga sangat peduli pada persoalan lingkungan hidup. Idiom-idiom dalam sajaknya juga banyak memakai idiom-idiom alam. Seperti dalam puisinya yang berjudul Hutanku, Kami Menunggu, Burung Menyar, Hari Ini, Tupai, Jendela Air. Simak sajak Surat Air berikut ini :
Selamat jalan ikan-ikan
Serta goyang ganggang
Cari alamat untuk ketenangan
Bersama yang mau menjaga alam
Sebagai penyair, Ibnu PS Megananda juga aktif dalam berbagai aksi menentang ketidakadilan yang dihadapinya. Selalu menyuarakannya dalam sajak-sajaknya, ia juga memotret ketimpangan negerinya dalam potret jurnalisme. Ia juga terlibat aktif dalam gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP).
Kepedulian akan negerinya banyak kita temui dalam buku puisinya ini. Seperti dalam sajak Dongeng, Ruang, Bukan Menyesali, 17 Agustus, dan banyak lagi. Semangat boemipoetranya juga menggelegak seperti hendak “membinasakan perilaku selingkuh pada bangsa dan negaranya” (Guruh, hal 15).
Tapi Ibnu yang kini bermukim di Serang, Banten dan tetap teguh dan konsisten dengan prinsip hidupnya, yaitu menentang segala ketidakadilan itu tetaplah seorang Jawa yang rendah hati dan sopan. Ia sangat mengidolakan Ronggowarsito dengan menulis : menulislah dengan bahasa Ibumu secara baik, agar terawat, dan terjaga penuturnya (Mencuri Kearifan, hal 1.)
***
Dalam pergulatan eksistensi kepenyairan di Banten, konsistensi penyair Ibnu PS Megananda dengan memilih ‘jalan sunyi’ selama kurang lebih dua puluh tahunan dalam menghidupi karya-karyanya dibandingkan dengan memilih untuk dihidupi oleh karya karyanya. Adalah sebuah ritus tersendiri yang mungkin sikap tersebut tidak banyak dipilih oleh penyair-penyair lainnya dalam mengajegkan eksisitensi dan identitas kepenyairannya.
Sebagai bukti dari sikapnya tersebut, kumpulan sajak “Seribu Kembang Untukmu” ini adalah tanda bahwa penyair atau sastrawan tak harus tumbuh dari tumpukan ‘cetak mencetak karya’ secara massif, tetapi memiliki keteguhan dalam menjaga nilai-nilai moralitas, spiritualisme dan pertanggungjawaban terhadap kekaryaannya, yaitu; pikir, ucap, rasa, sikap dan perbuatan.
Kumpulan sajak ini adalah merupakan representasi dari kumpulan sajak pertama perjalanan panjang kepenyairan Ibnu PS Megananda yang semoga kian memperteguh dan mengajegkan nilai-nilai di dalamnya.
Selamat saudaraku, semoga kedalaman tetap menjaga perjalanan sunyimu dan buku kumpulan sajak ini adalah ‘seteguk air penyejuk dahaga’ untuk melanjutkan perjalanan berikutnya menuju dirimu sendiri dan Tuhan.
(Indra Kusumah, Komikus, Karikartunis, dan Ketua Umum Dewan Kesenian Cilegon)
***
di hiruk gaya sajak yang meramaikan sastra Indonesia
negeri kita butuh puisi menjejak di hutan bambu, kebun karet,
dan kecipak air di sawah karena ayun cangkul petani;
keberadaan syair Ibnu PS Megananda pantas disuarakan
di seantero tanah Nusantara.
selama ketidakadilan terjadi hingga ke pinggir kota,
di dalam hidup petani – percayalah, puisinya akan terus bicara…
(@Sihar Ramses Simatupang, Jurnalis dan Sastrawan)
***
Puisi-puisi Kang Ibnu PS Megananda adalah rimba dan maknanya adalah rimbawan. Di mana posisi Kang Ibnu? Ia adalah onak. Adalah rumput melata. Adalah lumut. Menyaksikan sekaligus merasakan kegelisahan air, udara, tanah, batu, pohon, dan hewan-hewan di antara amuk pancaroba yang kian ganas meranggaskan kearifan alam.
Puisi-puisinya tidak menyuguhkan diksi-diksi antik, tidak menawarkan kiasan yang saling tabrak sebagaimana penyair-penyair masa kini. Karena ia telah puluhan tahun menulis puisi. Ia paham apa itu puisi. Ia tidak terganggu oleh soa-soal estetika, soal-soal anomalia kata untuk menganomalikan makna. Tidak pula terusik oleh selebritas kepenyairan. Sederhana saja dan kesederhanaan itulah titik kekuatan diri dan puisi-puisinya. (Muhammad Rois Rinaldi, Penyair dan Pemred Tabloid Ruang Rekonstruksi)
***
Mas Ibnu PS Megananda merupakan budayawan yang gigih dan konsisten dalam berprinsip. Tulisan dan puisi-puisinya menunjukkan kepedulian tajam terhadap masalah sosial di sekitar kita dan masalah lingkungan hidup. Puisi-puisinya juga lugas, bahasanya dengan idiom-idiom filosofi Jawa yang kental. (DR.Bambang P. Sumo)
***
Aku dapati Ibnu PS Megananda di Koran Banten Ekspres, ikut menyuarakan Banten provinsi di koran tersebut. Dalam menulis ia punya kelebihan, yaitu menulis karya sastra. Saya tidak heran konon katanya bapaknya adalah seorang dalang Wayang Kulit di Medan tahun 70-80 an. Maka katanya sejak kecil ia sudah akrap dengan suluk dalang waktu pagelaran wayang. Dianggapnya suluk itu adalah puisi-puisi yang memikat. Maka pantas ia menulis puisi pula. Selamat, Mas Ibnu!
(Heri Ch Burmeli, Wartawan senior)
***
Puisi-puisinya membuka kesadaran kita dalam kehidupan. Keputusannya sebagai penyair ia tunjukkan dalam ‘ruang dan waktu’. Karena rasa cinta tanah air dan bangsa, korupsi dianggapnya membahayakan negara. Saya yakin antologi puisi “Seribu Kembang Untukmu”, diterima masyarakat Indonesia bahkan dunia, puisi-puisi yang menggugah kesadaran tadi.
(Hardho Sayoko Spb, Penyair)
Karya Ibnu Ps Megananda Megananda:
Editor:Chavchay Syaifullah
Desain Sampul dan Tata Letak::
Fajar Timur
PenerbitBunga Rumput Cilegon Publishing
Cetakan Pertama ............ 2014
Halaman: 125
Ukuran: 14,5 x 21 cm
ISBN: .........
IBNU SI PENCURI KEARIFAN
Oleh: Wowok Hesti Prabowo
Membaca puisi-puisi Ibnu PS Megananda dalam kumpulan puisinya yang bertajuk Seribu Kembang Untukmu ini mengingatkanku pada puisi-puisi buruh di Tangerang dan Kudus era 90-an. Puisi-puisi yang penuh perjuangan, kepedulian, dan terkadang kemarahan : pisahkan jiwa dengan mesin (Tangerang, hal 75).
Pada puisi-puisinya, Ibnu PS Megananda bahkan berbicara lebih luas dari sekedar nasib buruh. Ibnu nampak konsisten dengan keberpihakannya kepada kaum wong cilik. Ibu warung, teruslah berjualan nasi urap/dan ikan asin/ karena di warungmu uang kami terjangkau/ teruslah berjualan makanan sederhana/ di tempat sederhana (Warung Kecil, hal 45).
Penyair yang saya kenal sejak HP3N di Batu, Malang, Jawa Timur ini juga sangat peduli pada persoalan lingkungan hidup. Idiom-idiom dalam sajaknya juga banyak memakai idiom-idiom alam. Seperti dalam puisinya yang berjudul Hutanku, Kami Menunggu, Burung Menyar, Hari Ini, Tupai, Jendela Air. Simak sajak Surat Air berikut ini :
Selamat jalan ikan-ikan
Serta goyang ganggang
Cari alamat untuk ketenangan
Bersama yang mau menjaga alam
Sebagai penyair, Ibnu PS Megananda juga aktif dalam berbagai aksi menentang ketidakadilan yang dihadapinya. Selalu menyuarakannya dalam sajak-sajaknya, ia juga memotret ketimpangan negerinya dalam potret jurnalisme. Ia juga terlibat aktif dalam gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP).
Kepedulian akan negerinya banyak kita temui dalam buku puisinya ini. Seperti dalam sajak Dongeng, Ruang, Bukan Menyesali, 17 Agustus, dan banyak lagi. Semangat boemipoetranya juga menggelegak seperti hendak “membinasakan perilaku selingkuh pada bangsa dan negaranya” (Guruh, hal 15).
Tapi Ibnu yang kini bermukim di Serang, Banten dan tetap teguh dan konsisten dengan prinsip hidupnya, yaitu menentang segala ketidakadilan itu tetaplah seorang Jawa yang rendah hati dan sopan. Ia sangat mengidolakan Ronggowarsito dengan menulis : menulislah dengan bahasa Ibumu secara baik, agar terawat, dan terjaga penuturnya (Mencuri Kearifan, hal 1.)
***
Dalam pergulatan eksistensi kepenyairan di Banten, konsistensi penyair Ibnu PS Megananda dengan memilih ‘jalan sunyi’ selama kurang lebih dua puluh tahunan dalam menghidupi karya-karyanya dibandingkan dengan memilih untuk dihidupi oleh karya karyanya. Adalah sebuah ritus tersendiri yang mungkin sikap tersebut tidak banyak dipilih oleh penyair-penyair lainnya dalam mengajegkan eksisitensi dan identitas kepenyairannya.
Sebagai bukti dari sikapnya tersebut, kumpulan sajak “Seribu Kembang Untukmu” ini adalah tanda bahwa penyair atau sastrawan tak harus tumbuh dari tumpukan ‘cetak mencetak karya’ secara massif, tetapi memiliki keteguhan dalam menjaga nilai-nilai moralitas, spiritualisme dan pertanggungjawaban terhadap kekaryaannya, yaitu; pikir, ucap, rasa, sikap dan perbuatan.
Kumpulan sajak ini adalah merupakan representasi dari kumpulan sajak pertama perjalanan panjang kepenyairan Ibnu PS Megananda yang semoga kian memperteguh dan mengajegkan nilai-nilai di dalamnya.
Selamat saudaraku, semoga kedalaman tetap menjaga perjalanan sunyimu dan buku kumpulan sajak ini adalah ‘seteguk air penyejuk dahaga’ untuk melanjutkan perjalanan berikutnya menuju dirimu sendiri dan Tuhan.
(Indra Kusumah, Komikus, Karikartunis, dan Ketua Umum Dewan Kesenian Cilegon)
***
di hiruk gaya sajak yang meramaikan sastra Indonesia
negeri kita butuh puisi menjejak di hutan bambu, kebun karet,
dan kecipak air di sawah karena ayun cangkul petani;
keberadaan syair Ibnu PS Megananda pantas disuarakan
di seantero tanah Nusantara.
selama ketidakadilan terjadi hingga ke pinggir kota,
di dalam hidup petani – percayalah, puisinya akan terus bicara…
(@Sihar Ramses Simatupang, Jurnalis dan Sastrawan)
***
Puisi-puisi Kang Ibnu PS Megananda adalah rimba dan maknanya adalah rimbawan. Di mana posisi Kang Ibnu? Ia adalah onak. Adalah rumput melata. Adalah lumut. Menyaksikan sekaligus merasakan kegelisahan air, udara, tanah, batu, pohon, dan hewan-hewan di antara amuk pancaroba yang kian ganas meranggaskan kearifan alam.
Puisi-puisinya tidak menyuguhkan diksi-diksi antik, tidak menawarkan kiasan yang saling tabrak sebagaimana penyair-penyair masa kini. Karena ia telah puluhan tahun menulis puisi. Ia paham apa itu puisi. Ia tidak terganggu oleh soa-soal estetika, soal-soal anomalia kata untuk menganomalikan makna. Tidak pula terusik oleh selebritas kepenyairan. Sederhana saja dan kesederhanaan itulah titik kekuatan diri dan puisi-puisinya. (Muhammad Rois Rinaldi, Penyair dan Pemred Tabloid Ruang Rekonstruksi)
***
Mas Ibnu PS Megananda merupakan budayawan yang gigih dan konsisten dalam berprinsip. Tulisan dan puisi-puisinya menunjukkan kepedulian tajam terhadap masalah sosial di sekitar kita dan masalah lingkungan hidup. Puisi-puisinya juga lugas, bahasanya dengan idiom-idiom filosofi Jawa yang kental. (DR.Bambang P. Sumo)
***
Aku dapati Ibnu PS Megananda di Koran Banten Ekspres, ikut menyuarakan Banten provinsi di koran tersebut. Dalam menulis ia punya kelebihan, yaitu menulis karya sastra. Saya tidak heran konon katanya bapaknya adalah seorang dalang Wayang Kulit di Medan tahun 70-80 an. Maka katanya sejak kecil ia sudah akrap dengan suluk dalang waktu pagelaran wayang. Dianggapnya suluk itu adalah puisi-puisi yang memikat. Maka pantas ia menulis puisi pula. Selamat, Mas Ibnu!
(Heri Ch Burmeli, Wartawan senior)
***
Puisi-puisinya membuka kesadaran kita dalam kehidupan. Keputusannya sebagai penyair ia tunjukkan dalam ‘ruang dan waktu’. Karena rasa cinta tanah air dan bangsa, korupsi dianggapnya membahayakan negara. Saya yakin antologi puisi “Seribu Kembang Untukmu”, diterima masyarakat Indonesia bahkan dunia, puisi-puisi yang menggugah kesadaran tadi.
(Hardho Sayoko Spb, Penyair)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar